Selasa, 03 Februari 2015

Komnas HAM Temukan Pelanggaran HAM

Komnas HAM Temukan 11 Pelanggaran di Kasus Chevron

Dari hasil pemantauan Komnas HAM dalam rangka menindaklanjuti laporan pihak terdakwa kasus Bioremediasi Chevron akhir tahun lalu, ditemukan pelanggaran HAM dalam kasus tersebut. Menurut anggota Komnas HAM, Natalius Pigai, investigasi itu dilakukan berdasarkan ketentuan yang termaktub dalam UU HAM. Dalam penyelidikan itu Komnas HAM melihat terdapat 11 variabel pelanggaran dan kejanggalan.
Sehingga ditemukan sedikitnya empat pelanggaran HAM. Pertama, terlanggarnya hak para korban untuk mendapat kepastian dan kesamaan hukum. Kedua, hak untuk tidak ditangkap dan ditahan secara sewenang-wenang. Ketiga, terlanggarnya hak untuk mendapat proses peradilan yang jujur dan berkeadilan. Keempat, pelanggaran atas hak untuk tidak dipidana dalam kasus perdata.
Pigai menjelaskan, proses investigasi itu dilakukan setelah Komnas HAM menerjunkan tim ke PT Chevron untuk menelusuri berbagai hal terkait dalam kasus Bioremediasi. Pada kegiatan itu, Komnas HAM mewawancarai sejumlah pihak, salah satunya para pekerja. Selaras dengan itu Pigai mensinyalir ada konflik kepentingan antara ahli bioremediasi yang dihadirkan pada proses persidangan yang berlangsung di pengadilan Tipikor beberapa waktu lalu. Menurutnya, indikasi itu ditemukan dari bukti yang ada serta para saksi yang ditemui Komnas HAM.
Dalam pengusutan yang dilakukan, Pigai menyebut Komnas HAM turut meminta keterangan pihak berwenang seperti Kementerian ESDM, Lingkungan Hidup, BPKP dan lainnya. Dari penelusuran yang dilakuakn, Komnas HAM berhasil mencatat berbagai hal dan tertuang dalam empat ratus halaman. “Menurut kami, ini (kasus Bioremediasi Chevron,-red) sebuah kejahatan hukum di zaman modern, sesuatu yang sesungguhnya salah tapi dilaksanakan,” katanya ketika menemui pihak terdakwa di kantor Komnas HAM Jakarta, Selasa (21/5).
Catatan sebanyak empat ratus halaman yang dihasilkan itu menurut Pigai awal pekan depan tim dari Komnas HAM akan langsung menyampaikannya kepada pihak yang bersangkutan. Mulai dari Presiden, DPR, Komisi Yudisial dan Kejaksaan Agung. Dalam melakukan investigasi, Pigai mengatakan Komnas HAM melakukannya secara independen.
Pigai berharap setelah hasil investigasi itu disampaikan, pihak yang disasar segera menindaklanjutinya. Misalnya Komisi Yudisial, dapat melakuakan tindakan dengan memeriksa majelis hakim yang mengadili kasus bioremediasi Chevron.
Mengingat proses persidangan kasus Chevron masih berlanjut dan sudah ada beberapa orang yang divonis, Pigai menekankan Komnas HAM tak dapat mengintervensi peradilan. Jika ditemukan terdapat kelalaian yang dilakukan majelis hakim dalam menyidangkan kasus tersebut, Pigai mengatakan hal itu menjadi kewenangan Komisi Yudisial.
Tapi untuk menjaga agar proses persidangan berjalan memenuhi rasa keadilan, Komnas HAM bisa mengajukan diri sebagai mitra pengadilan sebagaimana diatur dalam UU HAM. Tentu saja hal itu dapat terwujud jika mendapat persetujuan dari ketua pengadilan. “Kami berusaha untuk menjadi mitra peradilan, itu tindakan nyata yang akan dilakukan,” ujarnya.
Terkait kasus bioremediasi Chevron, Pigai mengatakan PT Chevron yang ada di Indonesia tergolong perusahaan besar. Oleh karenanya terdapat tingkatan jabatan manajemen dari yang terendah sampai teratas. Mengingat bioremediasi itu termasuk proyek besar, Komnas HAM meragukan jika proyek itu dipegang oleh jajaran manajemen tingkat rendah.
Oleh karenanya, Pigai mensinyalir pekerja di tingkatan lebih tinggi yang lebih layak bertanggung jawab secara hukum ketika kasus bioremediasi itu bermasalah. “Kami simpulkan bahwa mereka (para terdakwa,-red) yang menjadi korban bukan pihak yang bertanggungjawab di perusahaan itu karena masih ada atasannya,” ucapnya.
Kemudian, dalam investigasi yang dilakukan, Pigai menemukan adanya diskriminasi hukum. Menurutnya, Komnas HAM heran kenapa yang diadili hanya para pekerja yang berkewarganegaraan Indonesia, padahal PT Chevron adalah perusahan raksasa asal negara lain. “Kenapa warga negara lain tidak dihadirkan dalam pengadilan,” tukasnya.
Soal perizinan proyek bioremediasi, Pigai mengatakan setelah diteliti, pihak kontraktor dalam proyek bioremediasi itu tidak wajib mengantongi izin laboratorium. Mengacu ketentuan yang ada, salah satunya diterbitkan Kementerian Lingkungan Hidup, perizinan yang dimiliki PT Chevron sudah cukup.
Pada kesempatan yang sama, kuasa hukum PT Chevron Pacific Indonesia (CPI), Todung Mulya Lubis, mengatakan kehadiran para terdakwa dan keluarga serta rekan-rekannya untuk menanyakan sejauh mana langkah yang ditempuh Komnas HAM menyikapi kasus bioremediasi Chevron. Pasalnya, Todung menduga terjadi pelanggaran HAM dalam kasus tersebut mulai dari tahap penyelidikan, penyidikan dan peradilan. “Ini kasus yang tidak ada dasar hukumnya, kasus yang diada-adakan,” keluhnya.
Todung mengaku senang karena Komnas HAM sudah menindaklanjuti pengaduan yang sudah disampaikan akhir tahun lalu. Dari hasil itu Todung menyebut Komnas HAM memperoleh banyak data. Namun, dia mengingatkan ketika tercium ada kejanggalan dalam proses peradilan, pihaknya sudah menyampaikan kepada Kejagung. Pasalnya, kasus bioremediasi ini masuk dalam ranah perdata, bukan pidana. Sayangnya, protes itu tak digubris.
Pengacara senior itu menjelaskan dalam hukum pidana, ada yang disebut asas keberimbangan. Oleh karenanya pihak jaksa dan pembela hukum punya hak yang seimbang di pengadilan. Tapi, pada praktiknya tak terjadi karena jaksa punya banyak waktu untuk menyiapkan kasus sedangkan pembela punya waktu terbatas.
Belum lagi di persidangan, pembela tak diperkenankan menghadirkan ahli seperti harapan. Sedangkan, jaksa begitu leluasa menghadirkan ahli, bahkan ada ahli yang dinilai punya konflik kepentingan. Merasa terjadi pelanggaran HAM, Todung berharap Komnas HAM dapat melaksanakan tugas dan fungsinya untuk membantu para korban. Sejalan dengan itu pihak keluarga terdakwa meminta agar Komnas HAM memberikan keterangan di persidangan kasus bioremediasi Chevron yang masih berlanjut.
Terpisah, Corporate Communication Manager Chevron Dony Indrawan menyambut baik langkah Komnas HAM yang telah menyampaikan secara terbuka hasil temuan Komnas HAM dalam perkara bioremediasi CPI. Hasil temuan Komnas HAM ini membuktikan keyakinan CPI bahwa sudah terjadi pelanggaran HAM yang serius atas karyawan dan kontraktor kami.
Dony mencontohkan dalam kasus penangkapan dan penahanan Bachtiar Abdul Fatah. CPI sangat yakin bahwa Kejagung telah melakukan pelanggaran hukum dan pelanggaran HAM karena Kejagung telah mengabaikan putusan praperadilan yang telah membebaskan Bachtiar dari semua tuntutan dan statusnya sebagai tersangka. Dan putusan praperadilan ini telah bersifat final dan mengikat.

Sumber : http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt519b556b363d4/komnas-ham-temukan-11-pelanggaran-di-kasus-chevron

Tidak ada komentar:

Posting Komentar