Selasa, 03 Februari 2015

Hilangkan Hak Pembatalan UU, Arbitrase Digugat

Hilangkan Hak Pembatalan UU, Arbitrase Digugat


Ketiadaan aturan tenggang waktu pendaftaran dan pemberitahuan pelaksanaan putusan arbitrase internasional dari pihak Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat dinilai merampas hak termohon eksekusi atau pihak-pihak yang terikat di dalamnya. Kekosongan hukum ini berakibat termohon eksekusi kehilangan hak mengajukan permohonan pembatalan putusan arbitrase internasional ke PN Jakarta Pusat 
 
Keluhan itu disampaikan Direktur PT Indiratex Spindo Ongkowijoyo Onggowarsito, selaku pemohon dalam sidang perdana pengujian Pasal 67 ayat (1) dan pasal 71 UU No 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (3/2).
 
“Pasal 67 ayat (1) UU Arbitrase dan APS tidak mengatur batas akhir penyerahan/pendaftaran putusan arbitrase internasional. Kalaupun ada, hanya batas akhir pendaftaran pengajuan pembatalan putusan arbitrase nasional dan putusan arbitrase internasional,” ujar kuasa hukum pemohon, Fahmi H. Bachmid saat sidang pemeriksaan pendahuluan yang diketuai Maria Farida Indrati.  
 
Pasal 67 ayat (1) menyebutkan, “Permohonan pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional dilakukan setelah putusan tersebut diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.”  Sedangkan, Pasal 71 menyebutkan,“Permohonan pembatalan putusan arbitrase harus diajukan secara tertulis dalam waktu paling lama 30 hari terhitung sejak hari penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrase kepada Panitera Pengadilan Negeri.” 
 
Pemohon merasa tidak adanya aturan yang tegas mengenai batas waktu (akhir) pendaftaran putusan arbitrase internasional itu menimbulkan ketidakpastian hukum. Soalnya, penyerahan putusan arbitrase internasional bisa didaftarkan kapanpun. 
 
Dalam perkara arbitrase Ongkowijoyo, pihaknya merasa digantung karena tidak ada kejelasan kapan putusan arbitrase internasional akan didaftarkan ke PN. Pasalnya, putusan arbitrase internasional yang melibatkan kliennya baru didaftarkan ke PN Jakpus 1 tahun 5 bulan setelah diputus.
 
Terlebih, setelah adanya pendaftaran putusan arbitrase internasional itu, kliennya baru diberitahu 3 bulan setelah didaftarkan. Disisi lain, ungkap Fahmi, waktu yang diberikan untuk mengajukan pembatalan putusan hanya dibatasi 30 hari setelah pendaftaran seperti termuat Pasal 71 UU Arbitrase. 
 
“Setidaknya, jika ada tenggat waktu pendaftaran putusan arbitrase internasional, kita bisa menyiapkan upaya hukum lain (pembatalan putusan arbitrase internasional).:  
 
“Ini bisa menimbulkan ketidakpastian hukum bagi pemohon maupun bagi badan hukum yang ingin melakukan kerja sama dengan pemohon,” ungkap Fahmi di ruang sidang.
 
Menurutnya, aturan itu menimbulkan perbedaan perlakuan antara pemohon sebagai pihak yang ada dalam putusan arbitrase internasional dengan badan hukum asing yang mendaftarkan putusan arbitrase Internasional. Selain itu, perbedaan perlakuan antara pemohon sebagai badan hukum Indonesia dan Badan Hukum Indonesia lain sebagai para pihak yang diputuskan dalam putusan arbitrase nasional.
 
“Ini mengakibatkan perlakuan yang tidak sama dihadapan hukum dan merugikan kepentingan hukum termohon eksekusi untuk dapat melakukan upaya hukum pembatalan,” tegasnya. 
 
Atas dasar itu, pemohon meminta MK menghapus Pasal 67 ayat (1) dan Pasal 71 UU Arbitrase dan APS bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Atau, Pasal 67 ayat (1) huruf d UU Arbitrase dan APS dinyatakan konstitusional bersyarat sepanjang dimaknai “Putusan tersebut diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat paling lambat 30 hari sejak tanggal Putusan Arbitrase dijatuhkan.” 
 
“Menyatakan Pasal 71 UU Arbitrase dan APS konstitusional bersyarat sepanjang dimaknai ‘30 hari terhitung sejak hari penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrase kepada Panitera Pengadilan Negeri tersebut diberitahukan kepada termohon eksekusi,” tuturnya seperti termuat dalam petitum permohonannya.  
 
Salah satu anggota majelis, I Dewa Gede Palguna menilai akan lebih baik jika kedudukan hukum yang mengajukan permohonan UU Arbitrase  ini adalah perusahaan (badan hukum), bukan perseorangan. Soalnya, dalam permohonan hanya menyebutkan perseorangan Ongkowijoyo.  Terlebih, sengketa arbitase itu melibatkan perusahaan bukan perseorangan.
 
“Kerugian konstitusional perusahan dan perseorangan itu kan berbeda, ini mesti diperjelas kedudukan hukumnya,” ujar Palguna.
 
“Jadi soal legal standing Anda harus memilih. Setelah itu, baru dirumuskan kerugian konstitusional,” sarannya.

Sumber: http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt54d0f15bc29f1/hilangkan-hak-pembatalan-putusan--uu-arbitrase-digugat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar